Ini tentang aku, bukan ini tentang kamu, tidak ini tentang kita semua.
Dahulu kala, ketika kita dilahirkan tak ada rasa apapun yang menyertai kita, tidak satupun rasa kecuali rasa kasih sayang terhadap kedua orang tua kita. Karena setiap kita membuka mata, wajah merekalah yang selalu tersenyum menyambutnya. Kita dianggap hanya bisa menangis, tak bisa berbuat apa-apa, dan itu memang benar. Tak ada masalah tak ada peraturan yang mengekang. Ah, mungkin ini adalah masa terindah dalam hidup kita, hanya ditimang dan dicurahi kasih sayang.
Hingga pada suatu hari kita dapat berjalan menapak tanah. Disinilah kita dituntut untuk belajar tentang kehidupan, meskipun secara perlahan. Kita mulai belajar tentang kupu-kupu dan daur hidupnya, mulai bertanya-tanya apakah telur atau ayam yang diciptakan terlebih dahulu. Semua kita pertanyakan, seolah jawaban-jawaban yang ada tak memuaskan kita. Kita mulai biasa berkata tidak, dengan ucapan dan bukan sekedar tangisan. Dan kita mulai berpikir . . .
Ketika waktunya tiba, setiap pagi kita akan disibukkan dengan proses belajar yang biasa kita sebut dengan sekolah. Belajar berhitung, belajar membaca dan belajar apapun tentang dunia ini. Sedikit demi sedikit kita mulai mengerti . . .
Suatu waktu, kita akan memasuki dunia remaja, usia terus bertambah, pergaulan semakin berkembang dan semakin banyak informasi yang kita serap. Bahkan ada kalanya dada kita akan merasa hangat, berdebar bahkan nyeri yang rasanya begitu tak karuan. Ada apa ini? dan kita mulai bertanya tentang rasa ini. Biasanya orang yang menyebut dirinya orang tua, mengatakan ini " Cinta Monyet " . Dan kita hanya mengiyakan saja karena pada saat itu kita tak tau apa yang sedang terjadi. Meskipun kita sadar bahwa kita bukanlah seekor monyet, kita anak manusia yang sedang beranjak dewasa. Disini kita tak akan merasa sakit, tidak terlalu, karena lagi-lagi ini hanyalah " Cinta Monyet ".
Dan kinilah saatnya, saat kita harus menghadapi dunia, saat kita harus dapat berdiri tanpa bantuan orang lain saat kita terjatuh, saat kita mulai menangis jika merasa terluka, saat kita disebut " Dewasa ". Dan kita mulai merasakan ada sebuah kembang api yang terbakar dihati kita, yang terlihat bercahaya walaupun ini siang hari.
Kembang api itu tiba-tiba muncul begitu saja, walaupun kita tak menginginkannya, walaupun kita tak mengharapkannya. Disinilah kedewasaan kita diperlukan untuk dapat mengendalikanya. Ketika kembang api itu semakin terbakar dan " dia " tak bermain bersama kita, mengapa tak kita padamkan saja? Karena nantinya, pasti, kembang api itu pada akhirnya dapat melukai kita.
Namun, ketika kita dan " dia " dapat bermain bersama-sama, kisah ini baru saja dimulai . . . .
Dahulu kala, ketika kita dilahirkan tak ada rasa apapun yang menyertai kita, tidak satupun rasa kecuali rasa kasih sayang terhadap kedua orang tua kita. Karena setiap kita membuka mata, wajah merekalah yang selalu tersenyum menyambutnya. Kita dianggap hanya bisa menangis, tak bisa berbuat apa-apa, dan itu memang benar. Tak ada masalah tak ada peraturan yang mengekang. Ah, mungkin ini adalah masa terindah dalam hidup kita, hanya ditimang dan dicurahi kasih sayang.
Hingga pada suatu hari kita dapat berjalan menapak tanah. Disinilah kita dituntut untuk belajar tentang kehidupan, meskipun secara perlahan. Kita mulai belajar tentang kupu-kupu dan daur hidupnya, mulai bertanya-tanya apakah telur atau ayam yang diciptakan terlebih dahulu. Semua kita pertanyakan, seolah jawaban-jawaban yang ada tak memuaskan kita. Kita mulai biasa berkata tidak, dengan ucapan dan bukan sekedar tangisan. Dan kita mulai berpikir . . .
Ketika waktunya tiba, setiap pagi kita akan disibukkan dengan proses belajar yang biasa kita sebut dengan sekolah. Belajar berhitung, belajar membaca dan belajar apapun tentang dunia ini. Sedikit demi sedikit kita mulai mengerti . . .
Suatu waktu, kita akan memasuki dunia remaja, usia terus bertambah, pergaulan semakin berkembang dan semakin banyak informasi yang kita serap. Bahkan ada kalanya dada kita akan merasa hangat, berdebar bahkan nyeri yang rasanya begitu tak karuan. Ada apa ini? dan kita mulai bertanya tentang rasa ini. Biasanya orang yang menyebut dirinya orang tua, mengatakan ini " Cinta Monyet " . Dan kita hanya mengiyakan saja karena pada saat itu kita tak tau apa yang sedang terjadi. Meskipun kita sadar bahwa kita bukanlah seekor monyet, kita anak manusia yang sedang beranjak dewasa. Disini kita tak akan merasa sakit, tidak terlalu, karena lagi-lagi ini hanyalah " Cinta Monyet ".
Dan kinilah saatnya, saat kita harus menghadapi dunia, saat kita harus dapat berdiri tanpa bantuan orang lain saat kita terjatuh, saat kita mulai menangis jika merasa terluka, saat kita disebut " Dewasa ". Dan kita mulai merasakan ada sebuah kembang api yang terbakar dihati kita, yang terlihat bercahaya walaupun ini siang hari.
Kembang api itu tiba-tiba muncul begitu saja, walaupun kita tak menginginkannya, walaupun kita tak mengharapkannya. Disinilah kedewasaan kita diperlukan untuk dapat mengendalikanya. Ketika kembang api itu semakin terbakar dan " dia " tak bermain bersama kita, mengapa tak kita padamkan saja? Karena nantinya, pasti, kembang api itu pada akhirnya dapat melukai kita.
Namun, ketika kita dan " dia " dapat bermain bersama-sama, kisah ini baru saja dimulai . . . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar